2013-04-04


Bagaimana Inflasi Merenggut Kemakmuran Dari Kita ?

Bila Anda memasuki dunia kerja awal tahun 80-an, tahun-tahun ini Anda akan memasuki usia pensiun. Tergantung seberapa cemerlang karir Anda, tetapi bila Anda masuk kedalam kelompok terbesar dari pekerja di negeri ini – maka kemungkinannya Anda merindukan masa-masa awal Anda bekerja dahulu. Saat itu gaji Anda masih kecil tetapi terasa cukup, kini gaji Anda sudah jauh lebih besar – tetapi terasa semakin tidak cukup. Jangan salahkan pasangan hidup Anda, atau beban biaya anak-anak Anda – salahkanlah inflasi !.

Selain kenaikan biaya hidup karena bertambahnya kebutuhan seperti biaya istri dan anak-anak, inflasilah yang sesungguhnya merenggut kemakmuran dari jerih payah para pekerja. Ini berlaku di seluruh dunia, tetapi di negara yang rata-rata inflasinya tinggi – dampaknya tentu jauh lebih berat bagi masyarakatnya.

Untuk memahami pengaruh inflasi pada kemakmuran ini, saya ambilkan contoh pekerja rata-rata di tiga negara yaitu Indonesia, Amerika dan Singapura. Tiga sarjana baru dari masing-masing negara tersebut mulai bekerja pada saat bersamaan di tahun 1982. Ketika masuk bekerja yang di Indonesia digaji Rp 325,000/bulan; yang di Amerika digaji US$ 520/bulan dan yang di Singapura di gaji S$ 1,110/ bulan.

Sepanjang karirnya 30 tahun terakhir di masing-masing negara, prestasi mereka biasa-biasa saja. Mereka tidak mengalami promosi jabatan yang luar biasa. Mereka memperoleh kenaikan gaji yang sama (oleh berbagai sebab) yang bila di rata-rata adalah 10% per tahun selama tiga puluh tahun terakhir.

Berapa masing-masing gaji mereka sekarang ? Yang di Indonesia gaji mereka sekarang adalah Rp 5,671,000,- ; yang di Amerika gaji mereka US$ 9,074,- dan yang di Singapura gaji mereka adalah S$ 19,370,-. Dengan income seperti ini tingkat kemakmuran yang di Indonesia lebih rendah dari yang di Amerika dan jauh lebih rendah lagi dari yang di Singapura. Semua gaji mereka naik dengan persentase yang sama seperti grafik di bawah, mengapa yang satu lebih makmur dari yang lain ?.

Salary at Original Currencies


Itulah tingkat inflasi yang membedakannya. Untuk mengukurnya kita bisa gunakan timbangan yang adil yang menurut Imam Ghazali hanya ada dua yaitu emas (Dinar) atau perak (Dirham). Gaji masing-masing pekerja di tiga negara tersebut di tahun 1982 kurang lebih sama bila di konversikan ke Dinar yaitu 10 Dinar.

Namun setelah mengalami kenaikan gaji pada mata uang masing-masing @ 10 %, dampaknya menjadi berbeda ketika mata uang mereka ini dikonversikan ke timbangan yang sama yaitu Dinar. Yang bergaji Rupiah, bukannya naik malah turun terus sepanjang 30 tahun terakhir. Gaji mereka yang telah naik sekitar 17.5 kalinya dalam Rupiah, ternyata ketika dikonversikan ke Dinar malah turun tinggal sekitar ¼- nya. Gaji mereka yang 10 Dinar tahun 1982, kini tinggal sekitar 2.6 Dinar.

Yang bergaji US$ maupun S $ sekarang masing-masing setara dengan 40 Dinar dan 69 Dinar. Perhatikan pada grafik dibawah ketika semua penghasilan pegawai rata-rata di tiga negara tersebut dikonversikan ke Dinar.

Salary Converted to Dinar



Meskipun tingkat kemakmuran yang masih tinggi, ternyata trend kemakmuran di Amerika maupun Singapura selama 10 tahun terakhir juga mengalami kemunduran – inflasi atau penurunan daya beli uang mereka selama 10 tahun terakhir rupanya juga berjalan lebih cepat ketimbang kenaikan-kenaikan gaji mereka.

Yang mengalami dampak penurunan kemakmuran ini tentu bukan hanya masyarakat pekerja, kalangan dunia usaha-pun demikian. Bila mereka tidak berhasil tumbuh melebihi laju inflasi, maka mereka tidak akan mampu memepertahankan kemakmuran seluruh stake holder-nya (termasuk pegawainya) dan size usaha mereka secara riil akan menyusut.

Dengan gambaran yang begitu nyata tersebut, adalah naïve bila kita abaikan faktor inflasi ini dalam menjaga kemakmuran kita. Dinar atau Dirham hanyalah salah satu alat untuk melindungi kemakmuran kita agar tidak habis direnggut inflasi, banyak instrument lain yang juga berfungsi sama - seperti asset riil yang berputar dengan baik dlsb. Insyaallah.


Solusi Trilemma Ekonomi Modern…

Kita tentu familiar dengan ungkapan dilemma buah simalakama “Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati…”. Ekonomi modern kini memiliki komplikasi yang lebih rumit dari sekedar dilemma simalakama, setidaknya sudah menjadi trilemma simalakama “dimakan bapak dan anak mati, tidak dimakan ibu dan bapak mati, tindakan lainnya (dijual ?) ibu dan anak mati…”. Lantas diapakan seharusnya ekonomi modern ini agar tidak ada yang mati ?

Pertama yang perlu dipahami adalah masalah yang kita hadapi. Sederhananya ilustrasi disamping menggambarkan salah satu trilemma yang yang dihadapi dunia saat ini, yaitu pilihan antara sumber daya yang ada, pertumbuhan dan perubahan iklim.

Dengan apa kita tumbuh selama ini ?, dengan mengeruk sumber daya alam yang kita warisi. Berupa berbagai tambang, hasil hutan dan menghabiskan lahan-lahan produktif dan lahan konservasi menjadi rumah, pabrik dan vila. Kita mengambil  jauh lebih banyak dari yang kita berikan ke alam, lantas kita meninggalkan apa untuk anak cucu kita ? kita meninggalkan bumi yang semakin panas, air yang semakin tidak layak minum dan udara yang semakin tercemar.

Bila kita mau mengamankan sumber daya alam kita dengan berhenti mengeruk hasil tambang, berhenti menebang hutan, mengurangi pertumbuhan rumah di tanah-tanah produktif – konsekwensinya adalah pertumbuhan ekonomi juga ikut berhenti, sementara kerusakan alam yang sudah terlanjut terjadi tetap belum akan memulihkan iklim dan meredam bencana.

Bila kita fokus pada pengendalian iklim agar bumi tidak semakin panas, air tidak semakin tercemar dan polusi udara tidak semakin buruk – maka lagi-lagi pertumbuhan ekonomi akan terganggu, sumber daya alam yang terlanjur terkuras tidak akan pulih.

Lantas apa solusinya kira-kira ?, lha wong dilemma saja kita tidak punya solusinya kok, apa lagi trilemma. Tetapi Dia Yang Maha Tahu – pasti punya solusi yang dibutuhkan untuk makhluk yang diciptakanNya dengan penuh kelemahan ini. Dilengkapi makhluk yang lemah ini dengan segala petunjukNya baik secara langsung melalui kalam-Nya atau melalui utusan-Nya. Maka hanya dengan mengikuti keduanya, makhluk yang lemah ini tidak akan tersesat dalam mengatasi masalah-masalahnya, akan memiliki jalan keluar bagi setiap persoalan yang dihadapinya.

Bahwa jalan keluar itu pasti ada, itupun sudah dijanjikan olehNya. Hanya jalan keluar itu bukan untuk semua orang, jalan keluar itu khusus bagi orang yang bertakwa (QS 65 :2). Untuk sampai menjadi orang bertakwa, tentu kita harus menjadi orang beriman – orang beriman antara lain mempercayai sepenuhnya kebenaran ayat-ayatNya.

Karena dia percaya dengan kebenaran ayat-ayatNya, maka setiap persoalan yang dia hadapi dia carikan solusinya dari ayat-ayatNya atau sunnah RasulNya – bukan dari sumber yang lain yang tidak jelas.  Maka berangkat dari sini kita bisa mulai menggali petunjuk-petunjukNya pula untuk keluar dari lingkaran setan trilemma ekonomi modern tersebut di atas.

Kita bisa mulai dari memahami kesimbangan ciptaannya (QS 67 : 3-4), kemudian berinstropseksi kerusakan-kerusakan apa yang telah dilakukan oleh tangan-tangan manusia (QS 30 :41). Dari sini kita bisa mengingatkan diri kita tentang tugas kita untuk menjadi khalifah yang memakmurkan bumi (QS 11:61), bukan merusaknya. Dan berangkat dari sini pulalah kita bisa hidup dengan seimbang – adil dengan alam yang kita tinggali (QS 55 : 3-10).

Konkritnya bagaimana dengan solusi trilemma tersebut di atas ?. Salah satu solusi itu begini :

Pencemaran udara, suhu yang semakin panas, banyaknya carbon dioksida yang dilepas ke alam dlsb. antara lain bersumber dari konsumsi kita yang berlebihan terhadap bahan bakar, air dan makanan. Dalam hal makanan misalnya, kita bisa mulai dari petunjukNya :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS 7 :31)

Bayangkan dengan berawal dari ayat ini saja, akan sangat banyak perubahan di alam yang akan bisa kita rintis. Untuk bisa makan lima kali sehari yaitu setiap pulang dari masjid (melaksanakan sholat fardhu), pasti makanan itu sederhana dan pasti kita juga tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan.

Ketika makanan kita tidak berlebih-lebihan, kita juga akan sedikit nyampah. Emisi CO2 di alam berkurang, bumi menjadi tidak cepat panas. Karena makanan kita sederhana – tidak memerlukan pemrosesan yang berlebihan, akan sangat banyak energy yang bisa dihemat – sehingga tidak perlu menguras sumber daya alam. Bayangkan kalau istri Anda tidak perlu masak setiap hari !

Ini baru perbaikan satu aspek saja dari kebutuhan kita yaitu makanan atau food; dua aspek lain yaitu air dan api (energy) akan saya tulis lagi pada waktunya insyaAllah. Idenya adalah Dien kita pasti punya solsui yang komprehensif untuk kebutuhan mendasar manusia yang digerakkan oleh Food, Energy and Water (FEW) – yang konon kini menjadi alasan-alasan perang di dunia.

Solusi untuk FEW ini bagi kita sudah  diindikasikan oleh hadits berikut :

Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput, air dan api” (Sunan Abu Daud, no 3745).

Ekonomi modern yang didominasi oleh kapitalisme saat ini bisa saja menghadapi trilemma yang tidak terpecahkan, tetapi bagian dari keimanan kita – kita meyakini bahwa jalan keluar itu pasti ada bagi kita !. InsyaAllah.

…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. … Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS 65 :2-4)